10/10/2010

Lingkungan

PENATAAN Kawasan pesisir Pantai Utara Jakarta Sebagai Suatu KAWASAN TERPADU

I. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah pesisir yang kaya dan beragam akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan. Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km termasuk negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang setelah Kanada. Luas wilayah laut negeri kita, termasuk didalamnya zona ekonomi ekslusif, mencakup 5,8 juta kilometer persegi, atau sekitar tiga perempat dari luas keseluruhan wilayah Indonesia (Dahuri 2002). Dengan kenyataan seperti itu sumber daya pesisir dan lautan Indonesia merupakan salah satu modal dasar pembangunan Indonesia yang sangat potensial disamping sumber daya alam darat. Sumber daya wilayah pesisir diprediksi akan semakin meningkat peranannya dimasa-masa mendatang dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Kawasan pesisir adalah kawasan peralihan antara laut dan daratan, dimana batasan kawasan pesisir secara umum yaitu kearah laut masih dipengaruhi dampak daratan dan kearah darat masih dipengaruhi atau terkena dampak laut. Kawasan pesisir merupakan salah satu kawasan di permukaan bumi yang paling produktif dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Kawasan pesisir juga merupakan tempat bagi ekosistem dengan produktivitas hayati yang tinggi, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), dan estuaria. Sementara itu, aliran unsur hara yang berasal dari daratan melalui aliran air sungai atau aliran air permukaan (runoff) membuat perairan pesisir (coastal waters) jauh lebih subur dan produktif dibandingkan perairan laut lepas. Fakta juga menunjukkan bahwa kawasan pesisir merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pesisir. Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia, yaitu hampir 60% jumlah penduduk yang tinggal di kota-kota besar (seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar) menyebar di kawasan pesisir. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kawasan pesisir sangat rentan terhadap tekanan lingkungan disebabkan tingginya tingkat kegiatan pembangunan. Salah satu bentuk tekanan terhadap lingkungkan adalah pencemaran. Pencemaran perairan pesisir dapat terjadi akibat masukan bahan pencemar atau limbah dari kegiatan yang terjadi di daratan sekitarnya (land based pollution), daratan dengan cakupan yang lebih luas melalui sungai, maupun hasil kegiatan yang ada di perairan pesisir dan laut itu sendiri (sea based pollution), seperti kegiatan pelabuhan, pelayaran, dan penambangan lepas pantai. Pada dasarnya pencemaran terjadi akibat terlalu banyaknya bahan pencemar yang masuk ke suatu perairan hingga melampaui daya dukung alamnya.

Wilayah pesisir adalah wilayah interaksi antara laut dan daratan yang merupakan 15 % daratan bumi. Wilayah ini sangat potensial sebagai modal dasar pembangunan Indonesia sebagai tempat perdagangan dan transportasi, perikanan, budidaya perairan, pertambangan serta pariwisata. Wilayah pesisir Indonesia sangat potensial pula untuk dikembangkan bagi tercapainya kesejahteraan umum apabila pengelolaannya dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan, dengan memperhatikan faktor-faktor yang berdampak terhadap lingkungan pesisir. Dalam wilayah pesisir ada banyak faktor yang berdampak diantaranya: pertumbuhan penduduk dunia yang besar, kegiatan-kegiatan manusia, pencemaran, sedimentasi, ketersediaan air bersihdan pemanfaatan sumber daya laut yang berlebihan. Makalah ini menguraikan faktor-faktor tersebut.

Konsekuensi dari potensi yang besar tersebut kawasan pesisir akan mengalami perkembangan dengan pertumbuhan yang sangat pesat. Bengen (2002) mengemukakan wilayah pesisir menyediakan sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata, Ini berarti kawasan pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa dating. Demikian pula menurut Rais (2002), mengatakan bahwa sekitar 50 – 70 % manusia hidup dan bekerja diwilayah ini walaupun luasnya hanya 8% dari muka bumi. Wilayah pesisir sangat potensial sebagai penghasil 26 % dari produksi perikanan global. Oleh Karena itu wilayah pesisir sangat berperanan penting bagi kehidupan manusia

Dengan meningkatnya pemanfaatan wilayah pesisir yang, hal ini menyebabkan daya dukung wilayah pesisir akan berkurang jika penggunaaannya tidak dilakukan secara terpadu dan terkendali. Untuk menjaga agar daya dukung wilayah pesisir tidak mengalami penurunan yang besar maka perlu diperhatikan pula factor-faktor yang brdampak terhadap lingkungan pesisir. Beberapa hal yang dapat mempengaruh lingkungan pesisir dapat dikemukakan seperti: pertambahan jumlah penduduk dunia, kegiatan-kegiatan manusia, pencemaran, sedimentasi, ketersediaan air bersih, overeksploitasi sumberdaya alam.

II. DASAR PENGERTIAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR

Mengambil dari ketentuan pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia meliputi[1]:

a. Laut teritorial Indonesia,

Adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis awal kepulauan Indonesia.

b. Perairan Kepulauan,

Adalah perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai.

c. Perairan pedalaman,

Adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup.

Pada pasal 2 ayat 2 UU No. 6/1996 ditegaskan bahwa perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang menjadi bagian dari daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak mempehitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia. Maka pemahaman tersebut menegaskan bahwa laut dan daratan merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak terpisah-pisahkan. Di luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak ekseklusif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

Zona Ekonomi Ekseklusif adalah suatu bagian wilayah laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. ZEE mencakup wilayah laut sampai dengan 200 mil diukur dari garis pangkal. Di dalam ZEE Indonesia memiliki hak-hak berikut[2]:

1) Hak berdaulat untuk mengeksplorasi kekayaan alam atau eksploitasi sumber daya alam yang bernilai ekonomi.

2) Hak yurisdiksi (kewenangan) yang berhubungan dengan pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi bangunan-bangunan, penelitian, dan perlindungan serta pemeliharaan lingkungan laut.

3) Hak-hak dan kewajiban lainnya sesuai ketentuan UNCLOS-82. Berkaitan dengan hak-hak tersebut, Indonesia dituntut untuk menetapkan dan mengumumkan allowable catch di ZEE Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ketentuan UNCLOS-82 bahwa negara lain, terutama yang tidak memiliki pantai, berhak untuk memanfaatkan ”surplus” yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai yang memiliki ZEE.

Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar wilayah darat negara yang bersangkutan, sampai pada pinggir terluar dari tepian kontinen (continental margin). Beberapa ketentuan tambahan tentang landas kontinen adalah sebagai berikut:

1) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak kurang dari 200 mil dari garis pangkal, batas landas kontinen ditetapkan 200 mil dari garis pangkal (sama dengan ZEE).

2) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak lebih dari 200 mil dari garis pangkal, maka batas landas kontinen ditetapkan maksimal 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil laut dari batas kedalaman 2.500 meter isodepth.

Sebagaimana ZEE, Indonesia juga memiliki hak untuk berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di landas kontinen. Hak pemanfaatan sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen merupakan

suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan, sejak dari perencanaan hingga pengendalian pemanfaatannya.

Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.

Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut:

1) Laut merupakan sumber dari “common property resources” (sumber daya milik bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi publik/kepentingan umum.

2) Laut merupakan “open access regime”, memungkinkan siapa pun untuk memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.

3) Laut bersifat “fluida”, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling.

4) Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan.

5) Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. Wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi:

- Pertambangan,

- Perikanan,

- Pariwisata bahari yang diakui dunia

- Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity)

Salah satu kunci dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang demikian besar dan memiliki karakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita semua sudah maklum bahwa berbagai kasus bencana banjir yang melanda hampir seluruh pesisir utara Jawa, Madura dan beberapa tempat di Sumatera dan bencana kekeringan yang tengah kita alami dewasa ini merupakan buah dari pembangunan selama ini yang terlalu mengedepankan kepentingan ekonomi dan kepentingan jangka pendek semata. Pengalaman buruk ini, tentunya menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua agar lebih hati-hati dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas tersebut.

III. DASAR PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR

Wilayah laut dan pesisir sebagaimana disamapaikan di atas, wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang sebagai berikut:

Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain perikanan budidaya maupun tangkapan, pariwisata bahari dan pantai, industri maritime seperti perkapalan, pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya.

Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang diakibatkannya.Pembangunan wilayah daratan telah mengakibatkan 59 (lima puluhsembilan) SWS berada dalam kondisi kritis. Hal ini berdampak pada tingginya tingkat sedimentasi yang mengancam keberadaan padang lamun(sea grass) dan terumbu karang (coral), selain bencana banjir yang menimpa kawasan pesisir. Demikian pula dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut, juga menimbulkan polusi yang mengancam ekosistem pesisir. Penanggulangan permasalahan yang muncul di wilayah laut dan pesisir ini tidak dapat dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan pendangkalan laut di kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan pengerukan, tetapi harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung dan pembangunan waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan pengelolaan, dimana keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang harus diperhatikan.

Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost, dan cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique).

Dengan memperhatikan karakteristik, isu, dan permasalahan wilayah laut dan pesisir, diperlukan kebijakan yang dapat dijadikan landasan pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal sekaligus mengatasi dan mencegah permasalahan pembangunan.

IV. ANALISIS PERMASALAHAN: KASUS PANTAI UTARA JAKARTA

Pesisir Teluk Jakarta terletak di pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106033’00” BT hingga 107003’00” BT dan garis lintang 5048’30”LS hingga 6010’30” LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai + 89 Km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan laut Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat.

Kondisi kawasan pesisir pantai utara Jakarta memiliki faktor-faktor penyebab permasalahan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perairan dan kerusakan sumber daya di pesisir Utara Jakarta, faktor-faktor tersebut adalah[3]:

1. Kodisi fisik kawasan dengan kemiringan tanah ± 0-2% dan ketinggian 0-5 m di atas permukaan laut, bahkan pada beberapa lokasi berada 1 m di bawah permukaan laut (Pelabuhan Tanjung Priok sebagai titik nol), serta geomorfologi kawasan pantai yang tidak solid sehingga daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi. Kondisi ini menyebabkan tingkat pencemaran kawasan tinggi dan rawan banjir akibat genangan sungai, pendangkalan saluran drainase, dan pasang air laut. Kerusakan lingkungan yang ada menyebabkan penurunan tingkat kualitas hidup, kesehatan maupun perekonomian di wilayah Jakarta.

2. Fungsi kawasan sebagai pusat aktivitas sosial ekonomi skala pelayanan nasional dan internasional dengan pola pemanfaatan ruang yang belum tertata/terpadu secara horizontal Timur Barat dan vertikal Utara Selatan. Pengelolaan kegiatan berskala besar di kawasan pinggir pantai masih bersifat sektoral sehingga sering menimbulkan konflik dan hasilnya tumpang tindih bahkan terkadang tidak sesuai dengan kebijakan rencana kota. Ekslusivisme ini memberi tekanan (dalam berbagai bentuk) terhadap lingkungan dan berkontribusi bagi permasalahan lalu lintas, pengendalian banjir dan limbah, pemukiman kumuh, dan sanitasi lingkungan. Sebagai contoh, pencemaran air sepanjang pantai yang dikelola PT Jaya Ancol (> 5 km) telah mendekati ambang batas, begitu juga dengan Adpel Pelabuhan Tanjung Priok yang hanya memonitoring dan membersihkan kolam pelabuhan padahal pencemaran telah terjadi puluhan kilometer dari Tanjung Priok, selain itu tumpukan peti kemas milik KBN persis di bibir pantai mengakibatkan pantai penuh sampah.

3. Perubahan dari kawasan lindung (daerah resapan air) menjadi peruntukkan lain, menyebabkan menurunkan kualitas dan kemampuan lahan menerima beban air dari hulu dan curah hujan (menambah kerawanan banjir). Sebagai contoh, perubahan fungsi kawasan mangrove di daerah Sunda Kelapa, Muara Angke, Ancol, dan Tanjung Priok menjadi areal pemukiman, industri, dan pelabuhan, serta pemanfaatan lahan basah (wetland) untuk pemukiman (Perumahan Pantai Indah Kapuk dan kampung nelayan Kamal Muara). Rusaknya hutan mangrove juga disebabkan oleh pemanfaatan mangrove yang berlebihan dan tidak terencana, sedimentasi, dan pencemaran perairan estuari.

4. Posisi geografis kawasan sebagai tempat muara 13 sungai yang melintasi Jakarta yang menjadi pemasok polutan utama perairan Teluk Jakarta, terutama limbah padat yang berasal dari aktivitas di hulu sungai. Diperkirakan sampah yang terbawa ke laut dan menumpuk di pantai Jakarta adalah ± 600 m3 atau ± 40-59 % dari total sampah yang terbawa oleh aliran sungai setiap harinya.

5. Aktivitas reklamasi menyebabkan terjadinya sedimentasi (terutama di bagian Timur), misalnya pembangunan perumahan penunjang proyek industri di sepanjang pantai Teluk Jakarta, seperti reklamasi di kawasan Pluit, dan pendirian Perumahan Pantai Mutiara Indah di bagian Timur kawasan PLTU Muara Karang.

6. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi meskipun lahan pemukiman banyak yang tidak layak huni karena kepadatan tinggi dan terbatasnya fasilitas publik (kecuali pemukiman real estate). Sebagian besar penduduk merupakan pendatang yang bermukim secara berkelompok. Hal ini akan menambah beban ruang daratan terutama jika dikaitkan dengan kemungkinan bertambahnya sampah domestik dan sedimen yang masuk ke perairan pesisir.

Dari uraian di atas maka tampak bahwa penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan perairan pesisir Utara Jakarta adalah aktivitas yang berlangsung di daratan, yaitu segala kegiatan yang dilakukan penduduk Jakarta sendiri. Pola kebiasaan penduduk dalam keseharian, kiranya penting dilakukan suatu perubahan untuk perbaikan ekosistim pesisir pantai Utara Jakarta. Kebiasaan membuang sampah di sungai, pola aktivitas ekonomi yang brutal tanpa memperhatikan adanya keseimbangan dan keadaan alam, pengetahuan masyarakat yang rendah dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

V. PENGELOLAAN DAERAH PESISIR: KASUS PANTAI UTARA JAKARTA

Dari berbagai kondisi kerusakan lingkungan di kawasan pesisir pantai Utara Jakarta yang telah diuraikan diatas, maka dapat di usulkan berbagai tindakan pengelolaan kawasan dalam merehabilitasi dan menciptakan suatu keadaan keberlangsungan pembangunan di kawasan tersebut.

1. Keadaan Kerusakan Lingkungan Akibat Sampah

Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan muara sungai akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, bahkan bukan tidak mungkin dapat mengakibatkan kematian serta mengakibatkan spesies tertentu yang rentan terhadap bahan pencemar menjadi hilang/punah sehingga spesies ikan yang dijumpai menjadi berkurang. Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun. Sehingga menurun pula nilai perairan dan peruntukan lainnya.

Siklus pengelolaan sampah adalah proses dalam melakukan: Pengumpulan, pengangkutan, pemrosesas, pendaur-ulangan, atau pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metoda dan keahl ian khusus untuk masing masing jenis zat.

Kesadaran masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas di lingkungan pesisir, sering menganggap wilayah pantai sebagai tempat pembuangan sampah yang gratis, relatif murah dan mudah (praktis). Hal ini selain disebabkan tingginya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, rendahnya pendidikan, tingkat kesehatan yang tidak memadai, juga kurangnya informasi tentang kebersihan lingkungan, telah menyebabkan perairan pesisir menjadi “keranjang sampah” dari berbagai macam kegiatan manusia baik yang berasal dari dalam wilayah pesisir maupun di luarnya (lahan atas dan laut lepas). Akibatnya pembuangan sampah sembarangan telah mengurangi nilai keindahan dan kenyamanan “kemolekan” lingkungan pantai.

Sampah pesisir tidak bisa dilepaskan dari lahan atas (up land). Aktivitas manusia di wilayah daratan (land based activity), seperti membuang sampah di barangka dan selokan secara langsung menyebabkan terjadinya banjir, dan pada gilirannya sampah tersebut bermuara ke wilayah pesisir. Maka perlu diadakan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah ke dalam sungai, dan penjelasan bagaimana konsekuensi yang akan terjadi jika terus terjadi penumpukan sampah di setiap aliran sungai. Kerjasama antara Pemerintah, tokoh masyarakat, lembaga pendidikan formal dan sektor industri perlu dilakukan dalam membangun sikap tersebut. Program lain yang dapat dikembangkan misalnya adalah: Merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara terpadu (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir), menggalakkan program Reduce, Reuse dan Recycle (3 R) agar dapat tercapai program zero waste pada masa mendatang, mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan.

Dengan demikian perlu untuk selalu diingatkan kepada masyarakat mengenai kesadaran lingkungan, juga penegakan disiplin dan peraturan. Beberapa tindakan langsung yang dapat secara nyata dikembangkan sebagai berikut :

· Sosialisasi atau kampanye perlunya menghindari dan mengurangi pencemaran lingkungan pada umumnya dan pencemaran perairan khususnya agar masyarakat ikut berpartisipasi dengan tidak membuang sampah sembarangan, apalagi ke sungai ataupun ke laut.

· Setiap industri atau kelompok industri dalam satu wilayah tertentu diharuskan mempunyai instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) dan melakukan pengolahan air limbah sebelum dibuang ke perairan.

· Perbaikan pengelolaan sampah dan sistem drainase di pasar-pasar dan pusat-pusat pertokoan, sehingga mengurangi beban limbah yang mungkin masuk ke sungai dan laut.

· Perlunya koordinasi antar pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dalam pengelolaan sungai, karena apa yang terjadi di bagian hulu akan berdampak pada bagian hilirnya dan pengelolaannya tidak mungkin hanya dibagian hilirnya atau pesisir. Dalam hal ini, Pemerintah Propinsi DKI perlu bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota Depok, Bogor, serta Bekasi untuk mengurangi masukan limbah ke Teluk Jakarta melalui sungai.

· Usulan kepada pemerintah kota atau kabupaten tersebut khususnya untuk mulai membangun sistem pengolahan air limbah perkotaan beserta sistim drainasenya, serta penegakan disiplin dan peraturan melalui denda dan ancaman hukuman terhadap pelanggar pencemar lingkungan

2. Keadaan Kerusakan Kawasan Mangrove

Sebelumnya di kawasan ini terjadi berbagai perusakan hutan mangrove dan perubahan fungsi kawasan secara ilegal, antara lain pengusahaan penambakan ikan dan pemukiman oleh berbagai pihak. Banyaknya perubahan fungsi lahan mangrove di pantai utara Jakarta tersebut sangat mengkhawatirkan kestabilan lingkungan. Keberadaan pepohonan ini hampir menghilang dan keadaannya makin parah, juga keadaan ekosistim yang didukungnya nyaris punah, maka perlu adanya suatu program perbaikan lingkungan kawasan tersebut dengan mengembalikan kondisi semula sebagai suatu kawasan hutan mangrove. Kemajuan yang dicapai oleh PEMDA DKI saat ini adalah sekitar 40 Hektar dari kawasan ini telah dilakukan rehabilitasi dan ditanami kembali oleh berbagai pepohonan mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik.

Berbagai manfaat dari adanya kawasan mangrove adalah sebagai:

1. Habitat satwa langka

Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)

2. Pelindung terhadap bencana alam

Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.

3. Pengendapan lumpur

Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.

4. Penambah unsur hara

Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.

5. Penambat racun

Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif

6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.

8. Sumber plasma nutfah

Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.

9. Rekreasi dan pariwisata

Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove. Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

10. Sarana pendidikan dan penelitian

Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.

11. Memelihara proses-proses dan sistem alami

Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.

12. Penyerapan karbon

Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.


3. Penataan Ruang Dengan Lebih Baik

Penataan Tata Ruang kawasan pesisir utara Jakarta harus dilakukan secara integratif, baik tata ruang nasional ataupun regional yaitu penataan untuk kawasan darat, laut dan udara. Integrasi penataan daerah darat, laut, dan udara serta integrasi lintas yurisdiksi dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan tata ruang. Penyelenggaraan penataan ruang yang terintegrasi ini akan secara signifikan mengurangi faktor-faktor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir. Revitalisasi kawasan berfungsi lindung, mencakup kawasan-kawasan lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, dalam rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu faktor penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun, dan kerusakan terumbu karang.

Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang harus dengan tegas dilakukan oleh Pemerintah agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang sudah direncanakan. Tidak adanya pengecualian bagi golongan masyarakat tertentu dengan berbagai alasan, ataupun aktifitas mengatasnamakan golongan tertentu, kesemuanya diberlakukan ketegasan yang sama.

4. Pembangunan Berbagai Sumber Energi Baru

Angin adalah salah satu bentuk energi yang tersedia di alam, Pembangkit Listrik Tenaga Angin mengkonversikan energi angin menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin angin atau kincir angin. Cara kerjanya cukup sederhana, energi angin yang memutar turbin angin, diteruskan untuk memutar rotor pada generator dibagian belakang turbin angin, sehingga akan menghasilkan energi listrik.

Di tengah potensi angin melimpah di kawasan pesisir Indonesia, total kapasitas terpasang dalam sistem konversi energi angin saat ini kurang dari 800 kilowatt. Di seluruh Indonesia, lima unit kincir angin pembangkit berkapasitas masing-masing 80 kilowatt (kW) sudah dibangun. Tahun 2007, tujuh unit dengan kapasitas sama menyusul dibangun di empat lokasi, masing-masing di Pulau Selayar tiga unit, Sulawesi Utara dua unit, dan Nusa Penida, Bali, serta Bangka Belitung, masing-masing satu unit. Mengacu pada kebijakan energi nasional, maka pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) ditargetkan mencapai 250 megawatt (MW) pada tahun 2025. Daerah pesisir utara Jakarta merupakan daerah yang cukup potensial untuk dibangun pembangkit, untuk menambah kapasitas suplai listrik yang ada.

5. Pembangunan Berbagai Kawasan Wisata Laut/Taman Nasional

Tempat di pesisir utara Jakarta itu merupakan kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan sebagai kegiatan wisata alam. Dengan luas 99,82 hektare, kawasan ini termasuk tipe basah yang didominasi vegetasi utama mangrove. Dulunya, kawasan ini sempat menjadi pertambakan ikan yang dikelola penduduk sekitar. Dari luas kawasan ini, sekitar sepuluh persen bisa dijadikan sebagai pembangunan sarana dan prasarana nonvegetasi. Melengkapi prasarana dan sarananya, kini sudah ditimbun 1,2 hektare dijadikan sebagai kawasan penginapan dengan 29 kamar, dilengkapi ruang serbaguna.

Kawasan konservasi ini bagian dari 1.000 hektare hutan bakau di tempat itu. Hanya, 800 hektare sudah beralih fungsi menjadi kawasan real estate PIK. Sisa 100 hektare lagi masih dikelola Dinas Kehutanan Jakarta. TWA Angke Kapuk ini mengantongi izin pemanfaatan wisata alam (PPA) dari Kementerian Kehutanan tahun 1998 dengan masa izin pengelolaan oleh sebuah investor selama 38 tahun.

Daftar Pustaka

1. Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, “Tinjauan Aspek Penataan Ruang dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir”, Disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43 di Surabaya, 8 Oktober 2003.

2. Djakapermana, Deni Ruchyat,” Pengembangan Wilayah”, IPB Press 2010.

3. Sugandhi, Acha, “Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan”, Bumi Aksara, 2007.

4. Wikantika.wordpress.com, Penurunan kualitas lingkungan perairan dan kerusakan sumber daya di pesisir Utara Jakarta.

5. Dayan. La Ode, “Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Kertas Karya Perorangan, Kursus Reguler Angkatan XXVIII Lemhanas, 1985.4

6. www.penataanruang.net, Zona Ekonomi Eksklusive Indonesia.